Minggu, 07 Februari 2010

Konfusianisme Korea

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Konfusianisme Korea atau Yugyo adalah bentuk dari konfusianisme yang berkembang di Korea. Konfusianisme yang dibawa dari Tiongkok melalui proses pengimporan budaya telah mempengaruhi sejarah intelektual dan pemikiran tradisional orang Korea modern. Paham konfusianisme telah menjadi bagian kebudayaan fundamental, yaitu sebagai pembentuk sistem moral, pola kehidupan dan hubungan sosial antar-generasi serta dasar bagi banyak sistem legal dalam masyarakat Korea.

Konfusianisme pada periode Tiga Kerajaan

Paham dan kepercayaan yang pertama kali masuk ke Korea sebelum Konfusianisme adalah Budhhisme, yaitu pada zaman Tiga Kerajaan Korea (57 SM-935 M). Agama Buddha mempengaruhi sistem pendidikan, moral dan politik, dan pada saat yang sama Konfusianisme dipraktekkan oleh kalangan istana.
Kerajaan Goguryeo yang paling dekat lokasinya dengan Tiongkok, pertama kali mengadopsi Budaya Tiongkok dan Buddhisme. Konfusianisme pertama kali diterima di Goguryeo, lalu berturut-turut ke Baekje dan Silla kemungkinan sejak abad ke-4 Masehi, saat ketiga negara telah mencapai tingkat kematangan.
Walau begitu Goguryeo tetap memelihara adat istiadat dan tradisi aslinya. Di pihak lain, Baekje menerapkan paham konfusianisme secara penuh, yang membentuk sistem pemerintahan dan seni budayanya. Silla tercatat paling akhir menerima Konfusianisme untuk mengatur administrasi negaranya.

Konfusianisme pada zaman Dinasti Goryeo


Peristiwa-peristiwa penting


Raja Gwangjong (949 - 975) membuat sistem ujian negara (gwageo).
  • Raja Seongjang dari Goryeo (981–997) mendirikan gukjagam, yaitu perguruan tinggi yang memakai kurikulum Konfusius, contohnya seperti Perguruan Tinggi Sungkyunkwan. Ia juga membangun sebuah altar di istana sebagai penghormatan bagi leluhurnya.
Pada periode-periode akhir Goryeo, muncul 2 orang tokoh penting yang sering terlibat debat sengit tentang Buddhisme dan Konfusianisme, yaitu Biksu Gihwa (1376-1433) dan Jeong Do-jeon (1324-1398) yang menyaksikan masa transisi paham Buddhisme ke Neo-Konfusianisme di Korea.
Jeong menulis karya Bulssi Japbyeon (Tinjauan tentang Buddhisme) yang berisi kritikan mengenai aliran Seon (Zen) yang dibawa dari Tiongkok. Gihwa membalas dengan karya Hyeonjeongnon (Rincian yang tepat) yang berisi belaan secara halus terhadap Buddhisme, namun pada saat yang sama adalah pernyataan yang agresif serta keraguan tentang paham Neo-Konfusianisme antara ideal dan tindakan.

Neo-Konfusianisme di masa dinasti Joseon

Paham Konfusianisme di Joseon diterapkan sangat ketat dengan penggunaan ide dan ideal yang kentara; chung adalah kesetiaan; hyo: rasa persatuan; in: kebajikan dan sin adalah kepercayaan.
Sejak 1392, saat berdirinya Joseon, Konfusianisme dianut secara mendalam oleh kaum bangsawan (yangban) dan para pejabat. Masyarakat Korea sejak lama telah mudah untuk mengikuti ajaran kepercayaan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai penganut agama. Keluarga istana adalah penganut Konfusianisme, biksu di sisi Buddhisme yang semakin terdesak, dan rakyat yang mempraktekkan shamanisme.
Konfusianisme memainkan peran penting karena diterapkan secara luas pada bidang adminstrasi negara dan peraturan sosial, mengintegrasikan masyarakat yang berbudaya berdasar cara Tiongkok untuk meningkatkan transfer budaya dari negeri tersebut.
Sekolah-sekolah tinggi dibangun dengan dasar dan sistem kurikulum Konfusius, dengan tenaga ahli dan ilmuwan dari Tiongkok. Perpustakaan yang besar dibuat serta adanya dukungan terhadap perkembangan seni-budaya. Kurikulum Konfusius Korea untuk akademi berkembang pesat dengan 15 buah karya utama yang tercipta.
Pada abad ke-16, muncul 2 tokoh ilmuwan besar yang berpengaruh bagi perkembangan Konfusianisme, yakni Yi Hwang (1501-1570) dan Yi I (1536-1584). Kedua ahli ini sering disebut dengan nama pena Toegye dan Yulgok, yang saat ini terpampang di mata uang kertas W 1000 dan W 5000 Korea Selatan.
Lima adad lebih masa pemerintahannya, peristiwa-peristiwa penting Konfusianisme di Joseon adalah sebagai berikut:
  • Abad pertama (1390-an ― 1490-an) adalah era dimulainya penerapan sistem adminstrasi kenegaraan berdasarkan konfusianisme.
  • Abad kedua adalah masa keemasan para filsuf dan ilmuwan konfusius.
  • Abad ketiga adalah masa berkembangnya sistem patrilineal di masyarakat yang memberikan kekuasaan tertinggi bagi putra laki-laki tertua.
  • Abad keempat merupakan era mistisisme.
  • Abad kelima adalah saat Konfusianisme mengalami kemunduran akibat masuknya paham-paham baru dari barat.

Konfusianisme dan masyarakat kontemporer

Elemen-elemen Konfusianisme masih berpengaruh kuat dalam sistem hirarki, organisasi, dan administrasi hingga saat ini di Korea. Walau begitu, saat ini Konfusianisme tidak lagi dianggap perlu untuk dianut sebagai kepercayaan, karena semakin beragamnya kepercayaan masyarakat Korea. Seorang penganut Konfusianisme seringkali mempraktekkan kepercayaan lain seperti Tao, Buddhisme, shamanisme atau pun Kristen.
Orang Korea seringkali disebut sebagai penganut paham Konfusius yang lebih kuat dari orang Tionghoa sendiri. Mereka menyelenggarakan berbagai festival dan hari-hari penting berdasarkan cara Konfusius seperti ulang tahun, upacara akil balik, pernikahan, kematian, peringatan kematian dan sebagainya. Tradisi konfusianisme yang ketat mempengaruhi hubungan sosial antar individu di Korea sehingga formalisasi sangat diperlukan bagi interaksi individu yang umurnya berbeda jauh. Contohnya orang Korea jika bertemu tamu, pasti menanyakan usia untuk menciptakan formalisasi jikalau ia lebih tua atau lebih muda. Hubungan antar teman yang sama usia memungkinkan mereka untuk bersikap lebih longgar.
Upacara Konfusius terbesar di Korea diselenggarakan setiap tahunnya di bulan Mei yaitu Jongmyo Jerye atau Jongmyo Daeje untuk menghormati para raja/ratu Joseon terdahulu. Di acara ini diadakan upcara persembahan dan tari-tarian. Upacara ini berasal dari Tiongkok, sekarang hanya bisa disaksikan di Korea.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar